Klik

Mau Iklan Gratis??

Senin, 23 Juli 2012

Kebatinan Dan Tradisi

Adalah suatu kenyataan mutlak, bahwa kebatinan menjelujuri kehidupan Bangsa, khususnya di Pulau Jawa sebagai tradisi.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya upacara tradisional dalam masyarakat seperti:
I.    Kehidupan.
a.    Selamatan 7 bulan kandungan (hamil)
b.    Khitanan
c.    Perkawinan
d.    Kematian: Nyusur tanah, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, mendak (1 tahun), 1000 hari.
II.    Penghidupan.
a.    Menanam padi
b.    Memotong padi
c.    Membangun rumah

Baik hal yang menyangkut segi penghidupan, maupun kehidupan tersebut di atas leluhur Bangsa kita mempergunakan sebagai KIAS: perhiasan terbuat dari emas dan/atau permata (kalau ada), pakaian baru, kembang-kembangan, daun-daunan dan lain sebagainya.
Memang harus diakui hal itu unik, unik karena sifat khas yang menyolok, sangat berlainan dengan tata cara agama dan ilmu pengetahuan.
Namun karena kelainannya itu, maka dapat dilihat sifat-sifat kepujanggaannya, sebab dibalik KIAS tersimpul maksud-maksud tertentu dan mengandung arti yang dalam.
Seandainya setiap kata dan kalimat yang ditulis dengan huruf serta bahasa yang berlaku pada zaman Leluhur, sudah dapat dipastikan yang dapat membaca dan memahami dewasa ini akan amat kurang sekali. Akan tetapi dalam bentuk KIAS, anak kecil yang buta huruf pun akan dapat memahami KIAS bentuk apa yang dihubungkan dengan maksud upacara sekalipun maknanya belum dipahami.
Oleh sebab itu dapat dimengerti, apa sebab hingga kini hampir semua orang teguh kepada tradisi secara turun-temurun dapat melakukannya dengan cermat.
Untuk menangkap KIAS itu dalam garis besarnya dapat diutarakan seperti berikut:
I. Kehidupan
a.    Selamatan 7 Bulan Kandungan (Hamil).
1. Ibu yang hamil dimandikan dengan air serta kembang 7 rupa, yang berarti setiap manusia yang hidup dilengkapi dengan:
1. gerak langkah,
2. kemauan,
3. pengetahuan,
4. hidup,
5. dengar,
6. lihat,
7. ucap, yang harus wangi semerbak peri kehidupannya.
2. Daun Jati:
Bahwa gerak langkah, kemauan dan sebagainya itu berasal dari Hyang Jati (Zat Illahi) yang disebut Penguasa Gusti.
3. Telor:
Telor ayam akan menetaskan ayam. Telor bebek akan menetaskan bebek. Maka apabila sudah mengetahui adanya Penguasa Gusti yang ada pada dirinya, sewajarnyalah setiap umat melakukan (menelorkan) perbuatan ke-Gustian (Ketuhanan Yang Maha Esa).
4. Perhiasan dan daun keluwih.
Sekalipun hidup, karena kekayaannya, seakan-akan bermandikan perhiasan permata intan berlian, akan tetapi harus dipahami bahwa barang yang paling berharga adalah diri manusiawinya.
Pangkat, dunia kekayaan, apabila mati tidak akan ada yang dibawa meski suami/isteri anak kesayangan sekalipun.
Oleh sebab itu pangkat, dunia dan kekayaan janganlah dijadikan tujuan hidup yang utama, hendaklah itu dianggap sebagai perlengkapan dalam suasana pergaulan.
Dari itu janganlah ingin hidup secara kaluwihan (berlebih-lebihan) ingin kaya sendiri, ingin kuasa sendiri, karena semuanya itu hanya sekedar barang sampingan.
5. Kain panjang baru yang bagus.
Kelakuan harus baik, lapang tekad, ucap dan lampah.
6. Rujak dalam jembangan.
Jembangan yang berasal dari tanah, namun karena sifat dan fungsinya sudah lain dari pada bumi yang menjadi asal segala benda dari tanah, jembangan tidak boleh disebut bumi.
Demikian pulalah dengan manusia yang berasal dari Tuhan, karena fungsinya amat berbeda dengan Tuhan Yang Maha Esa, tidak boleh disebut Tuhan. Adapun badan jasmani yang berasal dari dunia, proses kejadiannya melalui makanan dari buah-buahan, garam, hewan dan lain-lain, bagaikan rujak, yang dicampur aduk, yang kemudian sari patinya mengembang menjadi wujud badan jasmani.
7. Kelapa gading bergambarkan Arjuna dan Srikandi.
Bayi yang dalam kandungan masih belum dikuasai oleh nafsu-nafsu seperti:
Hewani     sifatnya     merah
Duniawi     sifatnya     kuning
Robani     sifatnya     putih
Setani     sifatnya     hitam
Maka gading dikiaskan masih tiada warna, tiada nafsu-nafsu tersebut di atas. Dari padanya diharapkan kelak ia akan hidup dengan tidak mengutamakan nafsu-nafsu itu.
Kalau anak itu lahir lelaki, supaya selain cakap seperti Arjuna, ia suka membantu yang lemah menolong orang sengsara, bagaikan Dananjaya yang senantiasa tenggang rasa.
Kalau anak lahir perempuan, supaya selain cantik seperti Srikandi, ia juga akan bisa menjadi Pahlawan pecinta tanah air, dan selalu setia mendampingi suaminya dalam suka dan duka.
8. Jembangan dipecah di tengah jalan perempatan:
Supaya anaknya kelak berdiri di tengah-tengah menguasai semua 4 jurusan nafsu, yang dapat mengendalikan secara wajar.
Dengan demikian semoga bilamana ia akan sempat pada saat rapuhnya badan jasmani, akan dapat pulih ka jati pulang ka asal.
b.    Kelahiran anak.
1. Bayi baru lahir ditaruh di tampah.
Tampah, barang untuk menampi beras, guna memisahkan beras dari menir dan kotoran lainnya.
Dalam hal ini hendaknya sang bayi kelak akan dapat memisahkan/memilih mana yang wajib dan yang tidak wajib adanya pada Wujud Tuhan Yang Maha Esa.
Sang dukun bayi, menggebrak-gebrakkan tampah dengan mengucap:
Jangan mempergunakan mata untuk yang tidak patut dilihat. Jangan menggunakan kuping untuk yang tidak patut didengar. Jangan menggunakan mulut untuk yang tidak patut diucapkan. Jangan menggunakan tangan untuk yang tidak patut diambil. Jangan menggunakan kaki untuk yang tidak patut dilangkahi.
Yang paling utama, agar sang bayi kelak tidak akan menjadi orang latah, hanya dapat meniru-niru tingkah laku orang/bangsa lain yang tidak cocok dengan sifat dan kepribadian bangsanya.
2. Garam.
Supaya dalam segala tekad, ucap dan lampah mengandung sari “manusianya agar disenangi sesama hidupnya”.
c.    Khitanan.
1. Khitanan disebut juga ngabersihan.
Supaya semenjak kecil, anak sudah mengenal kebersihan, baik dalam lingkungan hidup maupun dalam tingkah laku tahu kepada Tuhannya.
2. Kebon alas: digantungi serba-serbi hasil bumi.
Supaya semenjak kecil, anak sudah mengenal segala kekayaan hasil tanah airnya, yang dijadikan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk keperluan kesejahteraan hidup umatNya yang ia harus cintai dan pelihara sebaik-baiknya.
3. Gendang pencak.
Supaya semenjak kecil anak harus belajar berani mempertahankan keselamatan diri, Bangsa dan membela kekayaan dan kejayaan Tanah Air, yang gemah ripah lohjinawi, di mana ia dilahirkan, hidup dan di mana ia akan dikebumikan.
4. Ayam jantan sebagai bela yang dipotong dan dijadikan bekakak.
Supaya semenjak kecil anak harus sudah mempunyai sikap jantan yang berani menghadapi maut dalam membela Bangsa dan Tanah Air.
Sikap itu pada hakekatnya merupakan penyerahan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan segala-galanya guna kepentingan hidup dan kehidupan umatNya, sebagaimana halnya bangsa-bangsa lain di dunia ini, yang masing-masing mempunyai tanah air, bangsa, bahasa dan kebudayaan sendiri-sendiri.
5. Dulang remong yang dibalik serta gulungan tikar.
Mengingkari kodrat Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara tidak mencintai bangsa, bahasa, budaya dan tanah airnya, akan menjungkir balikkan dulang (tempat nasi). Ia hanya akan makan sisa-sisa yang tercecer dan menemui kematian dalam arti yang luas (majemuk).
d.    Perkawinan:
1. Sawér:
Kesayangan orang tua tiada dua kinasihan yang ada diperuntukkan keselamatan dan kebahagiaan hidup anak-keturunannya.
Ia menaburkan: Beras lambang pangan
Ia menaburkan: Kunir lambang emas dan kekayaan
Memanjatkan do’a mohon pada Tuhan Yang Maha Esa dan Leluhur agar diberi berkah selamat lahir batin.
2. Memecahkan telor.
Itikad dan tujuan yang baik akan menelorkan kebaikan dan sebaliknya segala itikad dan tujuan buruk akan menelorkan keburukan, demikianlah hukum dari pada kehidupan.
3. Cuci kaki.
Bersihkan segala laku dan perbuatan, sebab kehidupan tiap Insan adalah sendi rumah tangga, dan setiap rumah tangga adalah sendi kehidupan Negara dan Bangsa.
4. Teropong (bambu lurus tiada berbuku).
Hidup berumah tangga antara suami isteri, sekalipun berbeda sifat, ibarat kiri dan kanan, namun keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama. Dari itu harus “bungbas” tiada kecurigaan antara yang satu terhadap yang lain, tiada rahasia antar mereka berdua, segalanya harus bersifat terbuka (transparan).
5. Batu pipisan.
Yang satu bersifat datar, dan yang lainnya bersifat bulat panjang, namun justru perbedaannya itu mempunyai fungsi yang dapat menggerus jamu serta lainnya semacam itu.
Demikian pulalah suami isteri dalam rumah tangga yang harus seimbang, sehingga kehidupan dapat memberikan kekuatan jasmaniah dan rohaniah dan jikalau mungkin dapat dimanfaatkan sebagai obat pelipur lara bagi keluarga-keluarga yang lain yang memerlukan bantuannya.
e.    Meninggal:
1. Kain kafan pembungkus mayat.
Hakekat hidup itu adalah putih bersih (suci) yang kotor adalah nafsunya yang menyuramkan kehidupan umat.
a. Empat tali pengikat.
Kejadian jasmani berasal dari: api yang menjadi daging, angin yang menjadi kulit dan bulu, air yang menjadi balung sungsum, bumi yang menjadi isinya badan.
b. Bantalan 7 dari tanah berbentuk bulat.
Hidupnya Jasmaniah ditopang oleh Penguasa Tuhan Yang Maha Esa:
1. Gerak langkah
2. Kemauan
3. Pengetahuan
4. Hidup
5. Dengar
6. Lihat
7. Ucap.
2. Nyusur tanah:
Mengenangkan segala apa hasil kerja yang pernah dicapai almarhum(ah) selama hidupnya, baik di segi lahiriah maupun rohaniah, untuk diambil manfaatnya bagi yang ditinggal.
3. Hari ke tiga.
Dengan kematian, maka terpisahlah antara satu sama lain.
Raga Salira     :     Jasmani untuk kembali ke dunia
Raga Purasa     :     Rohani untuk kembali ke sari rasa alam
Raga Batara     :     Aku untuk kembali kepada Tuhannya, sebagai asalnya masing-masing (individu).
4. Hari ke tujuh.
Penguasa Tuhan yang berjumlah 7 tersebut di atas (1-b) akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
5. Hari ke empatpuluh.
4 (empat)     :     Nafsu hewani
Nafsu duniawi
Nafsu robani
Nafsu setani
0 (kosong)     :     Hilang terpisah dari badan jasmani.
6. Hari ke seratus.
Ratus – semacam setanggi untuk mewangikan pakaian. Hendaklah yang dikenang kebaikan almarhum(ah) dengan memaafkan kekhilafannya, menghilangkan dari ingatan keburukan, yang pernah diperbuatnya, karena segala sesuatu telah lalu dan tiada lagi yang akan kembali = 1.
7. Mendak (1 tahun).
Kabur kang halus dan jisim kang latif dari pada almarhum(ah) adalah anak keturunannya, sebab badan jasmani dari anak keturunannya berasal dari badan jasmani almarhum(ah).
Tegasnya jasmani almarhum(ah) dari keturunannya itu tunggal.
8. Seribu hari.
Adalah Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Langgeng tiada awal dan akhirnya, asal dari semua asal dan kemana segala yang ada akan kembali = 1.
Sang Aku harus sudah kembali = 0 (kosong)
Jasmani harus sudah kembali = 0 (kosong)
Rohani harus sudah kembali = 0 (kosong)
(Pulih ka Jati pulang ka Asal)
II. Penghidupan:
a.    Menanam Padi:
1. Duwegan santri (kelapa muda) kelapa hijau.
Setiap Insan hidup di dunia ini harus merasa bahwa masih hijau dan harus belajar untuk menambah pengetahuan dan pengalaman, sebab manusia itu banyak kekurangannya, dan tiada yang sempurna.
Dengan melihat pohon kelapa dan merenungkannya secara dalam, maka akan dapat menarik pelajaran, bahwa dari pohon kelapa segala-galanya dapat dimanfaatkan bagi kehidupan umat seperti: daun, buah, lidi, dan pucuk.
Alangkah baiknya, jikalau manusia pun dalam melaksanakan darmanya itu juga sesuai dengan:
Dat serta adatnya sebagai Bangsa yang berkebangsaan Indonesia. Sifatnya sebagai Bangsa yang mempunyai tanah air Indonesia. Namanya sebagai Bangsa yang mempunyai budi bahasa Indonesia. Nyatanya sebagai Bangsa yang merdeka dan berdaulat di Negara Republik Indonesia, sehingga hidup dan kehidupannya bermanfaat bagi dunia dan isinya.
2. Gendi diisi air.
Gendi lambang jasmani
Air lambang rohani
Hanjuang lambang hidup
Maksudnya, ialah menanam padi itu pada azasnya diperuntukkan kesejahteraan hidup jasmaniah dan rohaniah, bukan saja untuk yang menanam sendiri namun untuk semua umat yang memerlukannya, agar bermanfaat hidupnya sesuai dengan fungsi manusiawinya.
3. Kukus membakar kemenyan.
Memanjatkan do’a pada Yang Maha Kuasa, supaya memberi berkah atas segala daya upaya sebab manusia hanya berusaha dan Tuhanlah yang menentukannya.
Demikian pula terhadap Ibu Pertiwi, supaya memberikan pahalanya atas segala jerih payah untuk berhasilnya pertanian.
Hakekat adanya jagad, karena dijadikan Tuhan. hakekat adanya badan jasmani, karena adanya jagad. Hakekat kewajiban Aku untuk mewujudkan kesejahteraan hidup, ialah mengelola dan mengolah jagad sebagai sarana hidup dengan badan sebagai alat pelaksanaannya.
b.    Memotong Padi:
+ Umbul-umbul: tiada kebahagiaan dari berhasilnya usaha menanam padi.
+ Saung ranggon yang dihiasi: Lambang hidup Duniawiah yang beraneka ragam dan ambisi kehidupan untuk maju dan berkembang.
+ Naga di atas saung: Lambang Pujangga = budi pekerti yang luhur.
+ Padi yang didandani: Lambang SRI, badan jasmani yang memerlukan pakaian/perhiasan sebagai pelengkap kehidupannya.
+ Puncak manik: Puncak dari segala kebaikan ialah kerukunan hidup, yang di atas merasa kedudukannya itu tidak tergantung di awang-awang namun didasari kekuatan persatuan masyarakat bawah yang banyak jumlahnya, yang bawah merasakan, bahwa kehidupannya tidak terpisahkan dari kedudukan sosial atasannya, karena semuanya merupakan kesatuan yang saling topang-menopang tidak terpisahkan antara satu sama lainnya.
+ Telor: Cita-cita pengharapan yang akan menelorkan perbuatan.
+ Bekakak: Dalam suka dan duka sebaiknya pasrah sumerah kepada Tuhannya dengan melakukan darma dan karmanya sebagai kaula Tuhan melindung kepada kebajikan dan menjauhi lakuning setan.
c.    Mendirikan rumah:
1. Kain berwarna merah dan putih diikatkan di suhunan.
M e r a h     :     Lambang darah dari Ibu
P u t i h     :     Lambang darah dari Bapak yang menjadi badan jasmani.
Maksudnya     :     Dalam rumah itu hendaknya sifat dan perbuatan manusiawilah yang tertinggi kedudukannya.
2. Padi segedeng (2 eundan).
Antara lahir dan batin, antar suami dan isteri, antara orang tua dan anak, antara keluarga dan masyarakat, hendaknyalah selalu berada dalam suasana kehidupan yang seimbang.
Kekurangan keseimbangan menimbulkan ketimpangan dalam segala lapangan kehidupan.
Dengan adanya keseimbangan dalam bidang penghidupan dan kehidupan disertai kecukupannya kebutuhan hidup (padi) akan dapat menimbulkan kesejahteraan lahir dan batin.
3. T e b u.
Sekalipun pada hakekatnya semua manusia itu sama, namun dalam pergaulan hidup terdapat undak usuk yang harus mendapat perhatian seperlunya.
Suasana hidup yang penuh “Memanis”, ialah di mana terdapat saling hormat-menghormati, dengan menjauhkan segala perbuatan yang menimbulkan kepahitan terhadap orang lain, bagaikan TEBU yang dari pangkal sampai ujung, dari bawah sampai atas seluruhnya mengandung sari MANIS.
4. Pisang setandan.
SEUHANG (pisang teratas yang besar pada tandan) dan butiti (pisang paling kecil dan terbawah pada tandan) semuanya berasal dari jantung yang sama.
Karena proses alamiah pisang itu menjadi beda, ada yang kecil dan ada yang besar, namun demikian kesemuanya itu adalah satu jenis dari satu asal yang sama pula.
Demikianlah pula dengan manusia yang karena darma dan karmanya menduduki keadaan yang berbeda, namun sebagai bangsa adalah satu keturunan dari asal yang sama juga. Karena itu sewajarnyalah kalau hidup rukun satu hati (jantung) satu rasa, satu kepentingan dalam rangka kehidupan Bangsa, antara yang berada di tempat atas berkedudukan tinggi/besar dan yang paling bawah/kecil sekalipun.
5. Daun beringin:
Hendaknyalah kehidupan manusia itu bagaikan pohon beringin yang berdiri kokoh kuat menjulang tinggi di angkasa. Supaya dapat dipakai berlindung di waktu hujan, bernaung di waktu panas dan memberi arah bagi yang kehilangan jalan.
Maksudnya supaya manusia itu dalam kehidupannya kokoh kuat sebagai kaula Tuhan, mampu memberi perlindungan bagi yang lemah dapat memberi arah kepada mereka yang tersesat, dalam menempuh hidup kerohanian dan kebendaan supaya mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
6. Ketupat, tantang angin, opak dan kelontong.
Ketupat     :     Janganlah suka “ngupat” memfitnah orang lain.
Tantang angin     :     Janganlah merasa sok tinggi hati namun tiada mempunyai hati (keberanian) bagaikan pohon bambu yang kosong batangnya, yang selalu bergerak dan bergoyang menurut hembusan angin.
Opak dan kelontong     :     Janganlah bersifat sok besar, sekiranya tiada berisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar