Klik

Mau Iklan Gratis??

Senin, 23 Juli 2012

Kebatinan dan Pancasila

Seperti telah menjadi pengertian umum PANCASILA adalah Religious Sosialisme (Religious Socialist), maka tidak dapat diartikan lain, bahwa di dalam tubuh Pancasila terdapat kehidupan religi yang menjiwai sosialisme, atau sebaliknya, sosialisme sebagai perwujudan kehidupan religious, yang satu memberi isi, yang lainnya menunjukkan wujudnya.
Sebagai falsafah hidup, Pancasila merupakan rangkaian yang tak terpisahkan, bagaikan lingkaran yang tiada ujung pangkal antara sila yang satu dengan yang lainnya.
Mengambil hanya sebagian saja dari Pancasila, berarti putusnya rangkaian, sehingga tidak dapat dinikmati secara keseluruhan/utuh.
Maka untuk mengurai Pancasila dari segi religi harus dimulai dari Ketuhanan Yang Maha Esa, dan seterusnya.
Dalam pada itu Pancasila merupakan saling isi mengisinya antara sila yang satu dalam sila yang lainnya seperti berikut:
1. KETUHANAN YANG MAHA ESA
Yang hidup ber Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah manusia yang adil dan beradab.
2. KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Yang hidup kemanusiaan adil dan beradab, ialah bangsa yang bersatu, (Persatuan Indonesia).
3. PERSATUAN INDONESIA
Bangsa yang hidup dalam persatuan Indonesia, tentu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
4. KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAH KEBIJAKSANAAN DALAMPERMUSYAWARATAN PERWAKILAN
Yang hidup kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, melaksanakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
5. KEADILAN SOSIAL YANG MERATA BAGI SELURUH RAKYAT
Keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat, adalah perwujudan dari masyarakat ber Ketuhanan Yang Maha Esa mengadakan dunia dan isinya untuk kesejahteraan Umat Nya.
Untuk menghayati Pancasila, setiap anggota masyarakat, wajib berusaha, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama supaya:
CAGEUR (SEHAT):
Lahirnya berkecukupan sandang, pangan, papan.
Batinnya: mempunyai perasaan terhadap sesama hidupnya, tidak iri dengki, jahil aniaya, terhadap sesama hidupnya (Sosialistis = masyarakat adil makmur).
BAGEUR (BAIK) KELAKUANNYA:
Tulung tinulungan terhadap sesama hidup, tidak merebut/memperkosa hak azasi orang lain (Demokrasi = Kedaulatan Rakyat).a
BENER (BENAR) PENGETAHUANNYA:
Berdiri di atas kebenaran, hidup menurut kodratnya sebagai Bangsa yang mempunyai bahasa, kebudayaan dan Tanah Air, hidup merdeka berdaulat di Negaranya (NASIONALISTIS = KEBANGSAAN).
PINTER AKUNYA:
Melakukan segala pekerjaan yang wajib adanya dalam wujud Tuhan Yang Maha Esa memandang terhadap diri orang lain seperti terhadap dirinya sendiri, karena manusia itu Tunggal (Humanistis = Kemanusiaan).
SELAMAT HIDUPNYA:
Saling hormat, menghargai mendambakan hidup rukun dan damai tanpa memandang perbedaan ras dan keturunan, kepercayaan dan agama, sebab segala umat dan seisinya jagad dijadikan/dijelmakan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam, Tuhan dari segala umat (MONOTHEISTIS = KETUHANAN YANG MAHA ESA).
Dari sebab itu jelas, bahwa sikap mental yang menentukan dalam mengisi dan menghayati Pancasila, karena sifat religious disamping kecerdasan pikir harus ada keseimbangan antara kemampuan Batiniah dan Lahiriah.
Dalam hal ini sikap rasa (batin) tercermin dalam daya pikir (sikap lahir yang positif) untuk dilaksanakan secara kongkrit (perbuatan nyata) dalam kehidupan bermasyarakat.
Tegasnya antara Rasa, Pikir, dan perbuatan selalu isi mengisi.
Segala perbuatan hendaknya didasarkan pikiran yang matang, setelah cukup diyakini tidak akan mengganggu perasaan sesama hidup.

Kebatinan Dan kebudayaan

Dalam segi kebudayaan yang menonjolkan kebatinan di segala aspeknya, ialah wayang, yang penggemarnya sangat luas di pelbagai lapisan dan golongan masyarakat yang umurnya tua sekali, bahkan pernah dinyatakan 2000 tahun lebih.
Menurut “sekaol” (sahibul hikayat) yang pertama-tama membuat cerita wayang, ialah Prabu Palasara. Kemudian berturut-turut menyusun cerita wayang:
Empu Sindhusastra     cerita Arjuna Sasrabahu
Empu Darmaya     cerita Smaradhanana
Empu Kanwa     cerita Arjuna Wiwaha
Empu Sedah     cerita Bathara Yudha
Empu Triguna     cerita Kresnayana
Empu Manoguna     cerita Sumanasantaka
Empu Panuluh     cerita Hariwangsa dan Gatotkacasraya
Empu Tantular     cerita Arjuna Wijaya

Para Wali menggunakan wayang sebagai alat dalam menyebarkan agama. Di antara wali yang membuat wayang (bukan menyusun cerita wayang) ialah Sunan Giri, berbentuk wayang Bathara guru. Oleh sebab itu sebagai penghargaan atas jasanya, Bathara Guru disebut juga GIRI NATA.
Karena para Empu, yaitu Pujangga yang mendalami hidup kebatinan, maka untuk menikmati cerita wayang harus dilihat juga dari segi kebatinan. Maka tersebutlah seperti berikut:
Kekayon rineka jalma, dalang murba “wayang”. Wayang murba dalang, nggoleki kang anggoleki. Nayogo wali sasanga, dalangna Sang Wali Tunggal, lalajo nu lalajona
Maksudnya:
Kayu direka seperti orang. Dalang menguasai wayang, segala ucap lampah wayang dilakukan oleh dalang. Namun wayang menguasai dalang, karena dalang berlaku, berbicara menurut sifat wayang. Lir ibarat Tuhan Yang Maha Esa yang menggerakkan semua umatNya, namun segala gerakannya itu sesuai dengan kehendak semua umatNya sendiri.
Nggoleki kang anggoleki, dengan Penguasa Tuhan Yang Maha Esa yang ada pada diri, umat mencari Tuhannya padahal yang menggerakkan dirinya itu, adalah Pengawas Tuhan (dekatnya tanpa gepokan) ibarat urat leher dengan leher masih terdapat antara, namun antara Kaula dan Gustinya dekat tiada antara lagi = (Tunggal).
Nayaga Wali Sasanga: Yang mengantar itikad kita ialah:
1. Otak dengan elingannya.
2. Mata dengan lihatnya.
3. Kuping dengan dengarnya.
4. Hidung dengan ciumnya.
5. Mulut dengan ucapnya.
6. Syaraf dengan rasanya.
7. Hati dengan pikirnya.
8. Tangan dengan geraknya.
9. Kaki dengan langkahnya.
Dalangnya Sang Wali Tunggal, yaitu Sang Aku yang mempunyai itikad, yang murba menguasai badan sekujur. Dari itu seharusnya melihat wayang sambil mawas diri, apakah yang dipentaskan dalam pertunjukan wayang itu ada yang mirip dengan kelakuan sendiri seperti: Satria, Ponggawa, Bapak Maling, atau Banaspati.
Adalah suatu kenyataan bahwa ada sementara orang yang menonjolkan Gatotkaca sebagai lambang dirinya, padahal pribadinya sangat pengecut. Karena sifat pribadinya itu maka lambang pewayangannya yang tepat bukanlah Gatotkaca namun Citrayuda.
Ada pula yang menyenangi Darmakusuma, karena kesabarannya padahal ia seorang yang tidak berperasaan. Maka lambang pewayangannya yang tepat baginya bukanlah Darmakusuma, namun seharusnya Dursasana.
Ada lagi yang menyenangi Prabu Kresna, karena kebijaksanaannya padahal ia senang melakukan fitnah untuk kepentingan diri dan golongannya, maka lambangnya yang tepat bukanlah Prabu Kresna, akan tetapi seharusnya Begawan Durna.
Dengan mendalami kisah pewayangan dari nama, negara, senjata aji-aji dan sebagainya yang semuanya menggunakan bahasa KAWI, bahasa yang digunakan sebelum Majapahit hingga saat-saat kejayaannya, keemasannya, akan diperoleh kesan bahwa antara yang satu dengan yang lainnya ada kaitan yang isi mengisi dalam makna dan artinya.
Maka disebutkanlah, bahwa wayang sekotak bagaikan perlambang hidup sendiri. Atau dengan perkataan lain, dalam suatu kisah wayang tokoh-tokohnya yang berperan satu sama lain saling isi mengisi jadi tidaklah merupakan tokoh sendiri-sendiri. Tegasnya keseluruhan wayang merupakan kesatuan mutlak.
Adapun KAWI berarti KUNO, dan berarti pula Pujangga atau Bujangga. Bujangga berarti ular besar (Naga), atau “Ngolah kehalusan” Yang halus adalah batin. Dari sebab itu kisah pewayangan, adalah kisah kebatinan.
Kepujanggaan dalam wayang, mengharuskan kita dalam menonton pertunjukan wayang, selain menikmati ceritanya juga harus dapat memahami kehalusan (kebatinannya) yang terkandung di dalamnya. Sebab soal pewayangan adalah soal kebatinan.
Dalam masyarakat kebatinan tokoh wayang yang amat terkenal ialah BIMA, karena kisahnya yang sangat menarik. Bima adalah putra PANDU DEWANATA, Raja di Astina dan KUNTI NALIBRATA yang bila diuraikan mengandung arti sebagai berikut:
Pandu     =     Perintis
Dewa     =     Manusia Utama
Nata     =     Aturan/Ngatur
Adapun Kuntinalibrata:
Kun     =     Ingsun
Ti     =     Nastiti
Nali     =     Budi
Brata     =     Gandrung
Dan Astina:
As     =     Linangkung
Tina     =     Angen-angen (cita-cita)
Kiranya kata-kata tersebut di atas dapat disusun dalam suatu kalimat, yang akan berbunyi sebagai berikut: “Yang menguasai angen-angen kang lingkung ialah Ingsun yang nastiti, berbudi dan gandrung untuk merintis aturan kemanusiaan yang utama. Istilah sekarang: Kemanusiaan yang adil dan beradab”
BIMA berarti menakutkan. Dalam kisahnya, Bima ini semenjak Pandawa (keturunan Pandu) masih kecil sangat menakutkan kerabat Kurawa (keturunan Kuru) karena dalam setiap perkelahian selalu dapat mengalahkannya.
Bahkan sangat menakutkan lagi, bila kelak setelah Pandawa menginjak dewasa, Bima atas nama saudara-saudaranya akan menuntut haknya atas Negara Astina.
Di antara tokoh-tokoh Kurawa terdapat antara lain:
SUYUDANA     :     Su = baik;
Yuda = perang, jaman;
Na = ada.
DURSASANA     :     Dur = buruk;
Sasana = tempat.
CITRAYUDA     :     Citra = warna;
Yuda = perang.
CITAKSA/CITRAKSI     :     Citrak = sengsara, cilaka;
Sa = tunggal, sama;
Si = lebih dan lain-lain.
Penasehatnya adalah Begawan Durna     :     Dur = buruk/mustahil;
Na = ada.
Arti nama tersebut di atas dapat disusun sebagai berikut: Angen-angen kang linnangkung (ideologi yang tinggi = Astina) meskipun pada/dalam jaman yang baik (SUYUDANA) namun masih adanya tempat- tempat yang buruk/maksiat (DURSASANA) diwarnai suasana perang (CITRAKSA/ CITRAKSI) serta Penasehatnya sekalipun Begawan, namun yang selalu mengada-ada keburukan (fitnah memfitnah) niscaya akan selalu menumbulkan kegoncangan baik jasmaniah rohaniah.
Dengan susunan kalimat tersebut di atas, maka kita sering disuguhkan dalam kisah pewayangan, di kala kerabat Kurawa menguasai Negara Astina, selalu dirundung kemalangan dan keonaran yang berlarut-larut.
Atas permintaan Kurawa, Begawan Durna (pernah menjadi guru Pandawa) memerintahkan Bima, supaya mencari tirta amerta (air yang tak kena mati).
Bima segera memasuki alas Amber yang penuh dengan Roban Banaspati. Amber = Luber (yang dimaksud tentu air).
Adapun sifat air dalam kebatinan, ialah putih lambang dari nafsu Robani/Banaspati.
Bima sekalipun berhasil mengalahkan gangguan dan godaan Robani/banaspati dan keluar dari alas Amber, namun tidak berhasil memperoleh tirta amerta. Dalam hal ini dapat diartikan Bima telah berhasil mengalahkan nafsunya sendiri yang bersifat Robani.
Selanjutnya Begawan Durna memerintahkan untuk mencari telenging toya (inti sarining air) di dasar lautan.
Sekalipun Ibu serta saudara-saudaranya melarang Bima melaksanakan perintah Begawan Durna, namun dengan alasan “Tiada Guru” yang akan mencelakakan murid Bima langsung menuju laut dan terjun ke dalamnya. Kesetiaan Bima yang kukuh kuat pendiriannya/kepercayaannya, maka disebutlah ia SENA, yang berarti: Pikuwat. Bima yang kukuh kuat. Dalam perkelanaannya di dasar lautan Sena bertemu dengan Dewa Ruci (Dewa Kerdil) yang menyerupai dirinya, yang kemudian menjadi Dewa sesembahannya, kemana ia berkiblat dan menuruti segala perintahnya.
Andaikata yang disebut Sena itu diri, maka Dewa Kecil yang menjadi kiblat dan dituruti segala perintah/keinginannya ialah Sang Aku, karena Akulah yang murba diri.
Tuhan Yang Maha Murba, yang menjadi asal dari semua Aku, menguasai semua jagad raya ini.
Namun Aku yang berasal dari pada Nya hanya menguasai dirinya sendiri.
Dari itu Aku ini kecil dibanding dengan Tuhan Yang Maha Esa, yang akbar (Agung) tiada bandingannya, namun demikian Aku berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, maka mempunyai sifat yang sama ialah: tidak dapat ditunjuk dengan telunjuk, dan tidak dapat diraba dengan pancaindera karena Aku bukan lahir dan bukan batin, akan tetapi yang dikaruniai Tuhan dengan lahir dan batin.
Oleh sebab itulah maka segala keinginan Aku diwujudkan oleh lahir dan batin, tegasnya Akulah yang memerintah lahir dan batin, seperti SENA berkiblat pada Dewa Ruci yang selalu mengikuti perintahnya. Pertemuan Bima dengan Dewa RUCI, berarti BIMA telah bertemu dengan AKU-nya, yang menunjukkan adanya telenging toya.
Adapun sari pati air (telenging toya) adalah cis-sir Bapak/Ibu sebagai mani (sesoca yang Awis) karena sir Ibu dan sir Bapak yang gumulung menjelma badan sekujur.
Dengan perkataan lain, sesudah bertemu dengan Sang Aku SENA menemukan dirinya sendiri. Justru karena itu, maka ia dinamakan Batara Sena. Sena yang suci. Sena yang dapat memisahkan antara yang wadag dan yang halus.
Maka Batara Sena memandang hakekat manusia itu sama, dari Dewa sampai manusia yang paling rendah martabatnya, sehingga ia mempergunakan tata dan bahasa yang sama pula.
Yang berbeda hanyalah kedudukan sosial dan tugasnya dalam masyarakat. Terkecuali terhadap Ibunya ia berdatang sembah, karena sekalipun segala umat dijadikan/dijelmakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, namun ia tidak jadi dengan sendirinya, sebab ia dilahirkan dari kandungan Ibu.
Kisah selanjutnya Batara Sena bertemu dengan Dewa Ular, yang dapat dikalahkannya dan diberi gelar WREKUDARA. Wrekudara berasal dari kata WREKA yang berarti Ular, dan DARA yang berarti besar. Ular besar (Naga) dalam bahasa Kawi berarti PUJANGGA atau BUJANGGA. Tegasnya sekarang Batara Sena telah mencapai kepujanggaannya. Wrekudara digambarkan tingginya sundul ke langit dan mewarnai bumi, yang berarti tinggi cita-citanya dan luas pandangan hidupnya mendalami setiap hati manusianya, mengembangkan sikap hidup dan kehidupannya di jagad raya ini.
Wrekudara mempunyai senjata Rujakpolo, yang tentu berarti tidak lain, bahwa untuk dapat memecahkan dan menguasai segala cita-cita, pandangan hidup dan pengembangannya harus digunakan polo (otak) tegasnya segala sesuatunya harus dipecahkan dengan polo (otak).
Di samping itu Wrekudara mempunyai aji-aji Bandung Bandawasa Gandamana, yang berarti:
Bandung     :     dikitari/dikelilingi
Banda     :     ikat
Wasa     :     kuasa
Ganda     :     rangkap
Mana     :     hati
Tegasnya, Wrekudara memahami, bahwa sekitar/sekeliling tubuhnya dari rambut sampai telapak kaki, diikat oleh Penguasa Tuhan Yang Maha Esa, sehingga bisa hidup/mubah musik (Bandung Bandawasa) disertai pikiran rangkap, menyaring mana yang baik dan mana yang buruk (Gandamana).
Ia memakai dodot “Bang bintulu aji” kain ber-kotak-kotak berwarna: merah, kuning, putih dan hitam, yang melambangkan bahwa ia menguasai nafsu amarah sifat: merah; sawiah sifat: kuning; Loamah sifat putih; Mutmainah sifat: hitam.
Ia mempunyai aji-aji “Ungkal bener” ungkal = batu asahan; bener = benar, untuk mengkaji segala kebenaran. Tegasnya Wrekudara bersikap positif dan obyektif mengutamakan kebenaran.
Selanjutnya yang paling ampuh ialah Pancanaka. Panca = Lima; Naka = kuku.
Dunia ini dapat dibangun segala peralatan dan kebutuhan hidup serta senjata paling ampuh pun dapat dibuat dan diselesaikan dengan baik, selain hasil kerja otak, namun pelaksanaannya adalah hasil 5 jari yang ada pada tangan yang mengerjakan, baik kaum cendekiawan, buruh, tani, dan lain sebagainya.
Maka 5 jari adalah senjata yang paling ampuh di dunia melebihi segala alat yang ada, karena tanpa jari tidak akan dunia dapat berkembang seperti sekarang ini.
Wrekudara memakai gelang “Candra Kirana”. Candra berarti bulan, Kirana berarti bintang. Adapun sifat bulan sangat berlainan dengan matahari yang mengeluarkan sinar panas dan mengeringkan.
Namun bulan mengeluarkan sinar sejuk menyegarkan dan mengembangkan segala kuncup. Bintang banyak yang digunakan sebagai patokan bagi orang di darat (untuk kepentingan pertanian), di laut dan udara sebagai patokan arah, juga lambang ketinggian martabat dalam karir.
Dalam hal ini Wrekudara sebagai Pujangga, mampu memberikan suasana sejuk segar dalam kehidupan masyarakat memberikan arah dan mengembangkan segala harapan, supaya berkembang dan berbuah, yang mempertinggi karir dan derajat abdi Negara dan tanah air.
Selain dari itu Wrekudara memakai anting-anting kembang manggis. Isi manggis akan sama dengan cupat yang ada di kulit luar. Manggis bercupat lima berisi lima, bercupat enam akan berisi enam.
Dalam hal ini Wrekudara hanya mau mendengar hakekat yang benar, sesuai antara luar dan dalam, antara lahir dan batin.
Sekalipun yang didengar terasa pahit seperti kulit manggis, tetapi bila mengandung hakekat kebenaran seperti isi manggis yang putih akan tetap dirasakan nikmat manisnya.
Tegasnya sebagai Pujangga, Wrekudara mau mendengar kritik dan koreksi, karena dengan demikian akan memperoleh hakekat kebenarannya.

Kebatinan Dan Tradisi

Adalah suatu kenyataan mutlak, bahwa kebatinan menjelujuri kehidupan Bangsa, khususnya di Pulau Jawa sebagai tradisi.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya upacara tradisional dalam masyarakat seperti:
I.    Kehidupan.
a.    Selamatan 7 bulan kandungan (hamil)
b.    Khitanan
c.    Perkawinan
d.    Kematian: Nyusur tanah, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, mendak (1 tahun), 1000 hari.
II.    Penghidupan.
a.    Menanam padi
b.    Memotong padi
c.    Membangun rumah

Baik hal yang menyangkut segi penghidupan, maupun kehidupan tersebut di atas leluhur Bangsa kita mempergunakan sebagai KIAS: perhiasan terbuat dari emas dan/atau permata (kalau ada), pakaian baru, kembang-kembangan, daun-daunan dan lain sebagainya.
Memang harus diakui hal itu unik, unik karena sifat khas yang menyolok, sangat berlainan dengan tata cara agama dan ilmu pengetahuan.
Namun karena kelainannya itu, maka dapat dilihat sifat-sifat kepujanggaannya, sebab dibalik KIAS tersimpul maksud-maksud tertentu dan mengandung arti yang dalam.
Seandainya setiap kata dan kalimat yang ditulis dengan huruf serta bahasa yang berlaku pada zaman Leluhur, sudah dapat dipastikan yang dapat membaca dan memahami dewasa ini akan amat kurang sekali. Akan tetapi dalam bentuk KIAS, anak kecil yang buta huruf pun akan dapat memahami KIAS bentuk apa yang dihubungkan dengan maksud upacara sekalipun maknanya belum dipahami.
Oleh sebab itu dapat dimengerti, apa sebab hingga kini hampir semua orang teguh kepada tradisi secara turun-temurun dapat melakukannya dengan cermat.
Untuk menangkap KIAS itu dalam garis besarnya dapat diutarakan seperti berikut:
I. Kehidupan
a.    Selamatan 7 Bulan Kandungan (Hamil).
1. Ibu yang hamil dimandikan dengan air serta kembang 7 rupa, yang berarti setiap manusia yang hidup dilengkapi dengan:
1. gerak langkah,
2. kemauan,
3. pengetahuan,
4. hidup,
5. dengar,
6. lihat,
7. ucap, yang harus wangi semerbak peri kehidupannya.
2. Daun Jati:
Bahwa gerak langkah, kemauan dan sebagainya itu berasal dari Hyang Jati (Zat Illahi) yang disebut Penguasa Gusti.
3. Telor:
Telor ayam akan menetaskan ayam. Telor bebek akan menetaskan bebek. Maka apabila sudah mengetahui adanya Penguasa Gusti yang ada pada dirinya, sewajarnyalah setiap umat melakukan (menelorkan) perbuatan ke-Gustian (Ketuhanan Yang Maha Esa).
4. Perhiasan dan daun keluwih.
Sekalipun hidup, karena kekayaannya, seakan-akan bermandikan perhiasan permata intan berlian, akan tetapi harus dipahami bahwa barang yang paling berharga adalah diri manusiawinya.
Pangkat, dunia kekayaan, apabila mati tidak akan ada yang dibawa meski suami/isteri anak kesayangan sekalipun.
Oleh sebab itu pangkat, dunia dan kekayaan janganlah dijadikan tujuan hidup yang utama, hendaklah itu dianggap sebagai perlengkapan dalam suasana pergaulan.
Dari itu janganlah ingin hidup secara kaluwihan (berlebih-lebihan) ingin kaya sendiri, ingin kuasa sendiri, karena semuanya itu hanya sekedar barang sampingan.
5. Kain panjang baru yang bagus.
Kelakuan harus baik, lapang tekad, ucap dan lampah.
6. Rujak dalam jembangan.
Jembangan yang berasal dari tanah, namun karena sifat dan fungsinya sudah lain dari pada bumi yang menjadi asal segala benda dari tanah, jembangan tidak boleh disebut bumi.
Demikian pulalah dengan manusia yang berasal dari Tuhan, karena fungsinya amat berbeda dengan Tuhan Yang Maha Esa, tidak boleh disebut Tuhan. Adapun badan jasmani yang berasal dari dunia, proses kejadiannya melalui makanan dari buah-buahan, garam, hewan dan lain-lain, bagaikan rujak, yang dicampur aduk, yang kemudian sari patinya mengembang menjadi wujud badan jasmani.
7. Kelapa gading bergambarkan Arjuna dan Srikandi.
Bayi yang dalam kandungan masih belum dikuasai oleh nafsu-nafsu seperti:
Hewani     sifatnya     merah
Duniawi     sifatnya     kuning
Robani     sifatnya     putih
Setani     sifatnya     hitam
Maka gading dikiaskan masih tiada warna, tiada nafsu-nafsu tersebut di atas. Dari padanya diharapkan kelak ia akan hidup dengan tidak mengutamakan nafsu-nafsu itu.
Kalau anak itu lahir lelaki, supaya selain cakap seperti Arjuna, ia suka membantu yang lemah menolong orang sengsara, bagaikan Dananjaya yang senantiasa tenggang rasa.
Kalau anak lahir perempuan, supaya selain cantik seperti Srikandi, ia juga akan bisa menjadi Pahlawan pecinta tanah air, dan selalu setia mendampingi suaminya dalam suka dan duka.
8. Jembangan dipecah di tengah jalan perempatan:
Supaya anaknya kelak berdiri di tengah-tengah menguasai semua 4 jurusan nafsu, yang dapat mengendalikan secara wajar.
Dengan demikian semoga bilamana ia akan sempat pada saat rapuhnya badan jasmani, akan dapat pulih ka jati pulang ka asal.
b.    Kelahiran anak.
1. Bayi baru lahir ditaruh di tampah.
Tampah, barang untuk menampi beras, guna memisahkan beras dari menir dan kotoran lainnya.
Dalam hal ini hendaknya sang bayi kelak akan dapat memisahkan/memilih mana yang wajib dan yang tidak wajib adanya pada Wujud Tuhan Yang Maha Esa.
Sang dukun bayi, menggebrak-gebrakkan tampah dengan mengucap:
Jangan mempergunakan mata untuk yang tidak patut dilihat. Jangan menggunakan kuping untuk yang tidak patut didengar. Jangan menggunakan mulut untuk yang tidak patut diucapkan. Jangan menggunakan tangan untuk yang tidak patut diambil. Jangan menggunakan kaki untuk yang tidak patut dilangkahi.
Yang paling utama, agar sang bayi kelak tidak akan menjadi orang latah, hanya dapat meniru-niru tingkah laku orang/bangsa lain yang tidak cocok dengan sifat dan kepribadian bangsanya.
2. Garam.
Supaya dalam segala tekad, ucap dan lampah mengandung sari “manusianya agar disenangi sesama hidupnya”.
c.    Khitanan.
1. Khitanan disebut juga ngabersihan.
Supaya semenjak kecil, anak sudah mengenal kebersihan, baik dalam lingkungan hidup maupun dalam tingkah laku tahu kepada Tuhannya.
2. Kebon alas: digantungi serba-serbi hasil bumi.
Supaya semenjak kecil, anak sudah mengenal segala kekayaan hasil tanah airnya, yang dijadikan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk keperluan kesejahteraan hidup umatNya yang ia harus cintai dan pelihara sebaik-baiknya.
3. Gendang pencak.
Supaya semenjak kecil anak harus belajar berani mempertahankan keselamatan diri, Bangsa dan membela kekayaan dan kejayaan Tanah Air, yang gemah ripah lohjinawi, di mana ia dilahirkan, hidup dan di mana ia akan dikebumikan.
4. Ayam jantan sebagai bela yang dipotong dan dijadikan bekakak.
Supaya semenjak kecil anak harus sudah mempunyai sikap jantan yang berani menghadapi maut dalam membela Bangsa dan Tanah Air.
Sikap itu pada hakekatnya merupakan penyerahan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan segala-galanya guna kepentingan hidup dan kehidupan umatNya, sebagaimana halnya bangsa-bangsa lain di dunia ini, yang masing-masing mempunyai tanah air, bangsa, bahasa dan kebudayaan sendiri-sendiri.
5. Dulang remong yang dibalik serta gulungan tikar.
Mengingkari kodrat Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara tidak mencintai bangsa, bahasa, budaya dan tanah airnya, akan menjungkir balikkan dulang (tempat nasi). Ia hanya akan makan sisa-sisa yang tercecer dan menemui kematian dalam arti yang luas (majemuk).
d.    Perkawinan:
1. Sawér:
Kesayangan orang tua tiada dua kinasihan yang ada diperuntukkan keselamatan dan kebahagiaan hidup anak-keturunannya.
Ia menaburkan: Beras lambang pangan
Ia menaburkan: Kunir lambang emas dan kekayaan
Memanjatkan do’a mohon pada Tuhan Yang Maha Esa dan Leluhur agar diberi berkah selamat lahir batin.
2. Memecahkan telor.
Itikad dan tujuan yang baik akan menelorkan kebaikan dan sebaliknya segala itikad dan tujuan buruk akan menelorkan keburukan, demikianlah hukum dari pada kehidupan.
3. Cuci kaki.
Bersihkan segala laku dan perbuatan, sebab kehidupan tiap Insan adalah sendi rumah tangga, dan setiap rumah tangga adalah sendi kehidupan Negara dan Bangsa.
4. Teropong (bambu lurus tiada berbuku).
Hidup berumah tangga antara suami isteri, sekalipun berbeda sifat, ibarat kiri dan kanan, namun keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama. Dari itu harus “bungbas” tiada kecurigaan antara yang satu terhadap yang lain, tiada rahasia antar mereka berdua, segalanya harus bersifat terbuka (transparan).
5. Batu pipisan.
Yang satu bersifat datar, dan yang lainnya bersifat bulat panjang, namun justru perbedaannya itu mempunyai fungsi yang dapat menggerus jamu serta lainnya semacam itu.
Demikian pulalah suami isteri dalam rumah tangga yang harus seimbang, sehingga kehidupan dapat memberikan kekuatan jasmaniah dan rohaniah dan jikalau mungkin dapat dimanfaatkan sebagai obat pelipur lara bagi keluarga-keluarga yang lain yang memerlukan bantuannya.
e.    Meninggal:
1. Kain kafan pembungkus mayat.
Hakekat hidup itu adalah putih bersih (suci) yang kotor adalah nafsunya yang menyuramkan kehidupan umat.
a. Empat tali pengikat.
Kejadian jasmani berasal dari: api yang menjadi daging, angin yang menjadi kulit dan bulu, air yang menjadi balung sungsum, bumi yang menjadi isinya badan.
b. Bantalan 7 dari tanah berbentuk bulat.
Hidupnya Jasmaniah ditopang oleh Penguasa Tuhan Yang Maha Esa:
1. Gerak langkah
2. Kemauan
3. Pengetahuan
4. Hidup
5. Dengar
6. Lihat
7. Ucap.
2. Nyusur tanah:
Mengenangkan segala apa hasil kerja yang pernah dicapai almarhum(ah) selama hidupnya, baik di segi lahiriah maupun rohaniah, untuk diambil manfaatnya bagi yang ditinggal.
3. Hari ke tiga.
Dengan kematian, maka terpisahlah antara satu sama lain.
Raga Salira     :     Jasmani untuk kembali ke dunia
Raga Purasa     :     Rohani untuk kembali ke sari rasa alam
Raga Batara     :     Aku untuk kembali kepada Tuhannya, sebagai asalnya masing-masing (individu).
4. Hari ke tujuh.
Penguasa Tuhan yang berjumlah 7 tersebut di atas (1-b) akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
5. Hari ke empatpuluh.
4 (empat)     :     Nafsu hewani
Nafsu duniawi
Nafsu robani
Nafsu setani
0 (kosong)     :     Hilang terpisah dari badan jasmani.
6. Hari ke seratus.
Ratus – semacam setanggi untuk mewangikan pakaian. Hendaklah yang dikenang kebaikan almarhum(ah) dengan memaafkan kekhilafannya, menghilangkan dari ingatan keburukan, yang pernah diperbuatnya, karena segala sesuatu telah lalu dan tiada lagi yang akan kembali = 1.
7. Mendak (1 tahun).
Kabur kang halus dan jisim kang latif dari pada almarhum(ah) adalah anak keturunannya, sebab badan jasmani dari anak keturunannya berasal dari badan jasmani almarhum(ah).
Tegasnya jasmani almarhum(ah) dari keturunannya itu tunggal.
8. Seribu hari.
Adalah Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Langgeng tiada awal dan akhirnya, asal dari semua asal dan kemana segala yang ada akan kembali = 1.
Sang Aku harus sudah kembali = 0 (kosong)
Jasmani harus sudah kembali = 0 (kosong)
Rohani harus sudah kembali = 0 (kosong)
(Pulih ka Jati pulang ka Asal)
II. Penghidupan:
a.    Menanam Padi:
1. Duwegan santri (kelapa muda) kelapa hijau.
Setiap Insan hidup di dunia ini harus merasa bahwa masih hijau dan harus belajar untuk menambah pengetahuan dan pengalaman, sebab manusia itu banyak kekurangannya, dan tiada yang sempurna.
Dengan melihat pohon kelapa dan merenungkannya secara dalam, maka akan dapat menarik pelajaran, bahwa dari pohon kelapa segala-galanya dapat dimanfaatkan bagi kehidupan umat seperti: daun, buah, lidi, dan pucuk.
Alangkah baiknya, jikalau manusia pun dalam melaksanakan darmanya itu juga sesuai dengan:
Dat serta adatnya sebagai Bangsa yang berkebangsaan Indonesia. Sifatnya sebagai Bangsa yang mempunyai tanah air Indonesia. Namanya sebagai Bangsa yang mempunyai budi bahasa Indonesia. Nyatanya sebagai Bangsa yang merdeka dan berdaulat di Negara Republik Indonesia, sehingga hidup dan kehidupannya bermanfaat bagi dunia dan isinya.
2. Gendi diisi air.
Gendi lambang jasmani
Air lambang rohani
Hanjuang lambang hidup
Maksudnya, ialah menanam padi itu pada azasnya diperuntukkan kesejahteraan hidup jasmaniah dan rohaniah, bukan saja untuk yang menanam sendiri namun untuk semua umat yang memerlukannya, agar bermanfaat hidupnya sesuai dengan fungsi manusiawinya.
3. Kukus membakar kemenyan.
Memanjatkan do’a pada Yang Maha Kuasa, supaya memberi berkah atas segala daya upaya sebab manusia hanya berusaha dan Tuhanlah yang menentukannya.
Demikian pula terhadap Ibu Pertiwi, supaya memberikan pahalanya atas segala jerih payah untuk berhasilnya pertanian.
Hakekat adanya jagad, karena dijadikan Tuhan. hakekat adanya badan jasmani, karena adanya jagad. Hakekat kewajiban Aku untuk mewujudkan kesejahteraan hidup, ialah mengelola dan mengolah jagad sebagai sarana hidup dengan badan sebagai alat pelaksanaannya.
b.    Memotong Padi:
+ Umbul-umbul: tiada kebahagiaan dari berhasilnya usaha menanam padi.
+ Saung ranggon yang dihiasi: Lambang hidup Duniawiah yang beraneka ragam dan ambisi kehidupan untuk maju dan berkembang.
+ Naga di atas saung: Lambang Pujangga = budi pekerti yang luhur.
+ Padi yang didandani: Lambang SRI, badan jasmani yang memerlukan pakaian/perhiasan sebagai pelengkap kehidupannya.
+ Puncak manik: Puncak dari segala kebaikan ialah kerukunan hidup, yang di atas merasa kedudukannya itu tidak tergantung di awang-awang namun didasari kekuatan persatuan masyarakat bawah yang banyak jumlahnya, yang bawah merasakan, bahwa kehidupannya tidak terpisahkan dari kedudukan sosial atasannya, karena semuanya merupakan kesatuan yang saling topang-menopang tidak terpisahkan antara satu sama lainnya.
+ Telor: Cita-cita pengharapan yang akan menelorkan perbuatan.
+ Bekakak: Dalam suka dan duka sebaiknya pasrah sumerah kepada Tuhannya dengan melakukan darma dan karmanya sebagai kaula Tuhan melindung kepada kebajikan dan menjauhi lakuning setan.
c.    Mendirikan rumah:
1. Kain berwarna merah dan putih diikatkan di suhunan.
M e r a h     :     Lambang darah dari Ibu
P u t i h     :     Lambang darah dari Bapak yang menjadi badan jasmani.
Maksudnya     :     Dalam rumah itu hendaknya sifat dan perbuatan manusiawilah yang tertinggi kedudukannya.
2. Padi segedeng (2 eundan).
Antara lahir dan batin, antar suami dan isteri, antara orang tua dan anak, antara keluarga dan masyarakat, hendaknyalah selalu berada dalam suasana kehidupan yang seimbang.
Kekurangan keseimbangan menimbulkan ketimpangan dalam segala lapangan kehidupan.
Dengan adanya keseimbangan dalam bidang penghidupan dan kehidupan disertai kecukupannya kebutuhan hidup (padi) akan dapat menimbulkan kesejahteraan lahir dan batin.
3. T e b u.
Sekalipun pada hakekatnya semua manusia itu sama, namun dalam pergaulan hidup terdapat undak usuk yang harus mendapat perhatian seperlunya.
Suasana hidup yang penuh “Memanis”, ialah di mana terdapat saling hormat-menghormati, dengan menjauhkan segala perbuatan yang menimbulkan kepahitan terhadap orang lain, bagaikan TEBU yang dari pangkal sampai ujung, dari bawah sampai atas seluruhnya mengandung sari MANIS.
4. Pisang setandan.
SEUHANG (pisang teratas yang besar pada tandan) dan butiti (pisang paling kecil dan terbawah pada tandan) semuanya berasal dari jantung yang sama.
Karena proses alamiah pisang itu menjadi beda, ada yang kecil dan ada yang besar, namun demikian kesemuanya itu adalah satu jenis dari satu asal yang sama pula.
Demikianlah pula dengan manusia yang karena darma dan karmanya menduduki keadaan yang berbeda, namun sebagai bangsa adalah satu keturunan dari asal yang sama juga. Karena itu sewajarnyalah kalau hidup rukun satu hati (jantung) satu rasa, satu kepentingan dalam rangka kehidupan Bangsa, antara yang berada di tempat atas berkedudukan tinggi/besar dan yang paling bawah/kecil sekalipun.
5. Daun beringin:
Hendaknyalah kehidupan manusia itu bagaikan pohon beringin yang berdiri kokoh kuat menjulang tinggi di angkasa. Supaya dapat dipakai berlindung di waktu hujan, bernaung di waktu panas dan memberi arah bagi yang kehilangan jalan.
Maksudnya supaya manusia itu dalam kehidupannya kokoh kuat sebagai kaula Tuhan, mampu memberi perlindungan bagi yang lemah dapat memberi arah kepada mereka yang tersesat, dalam menempuh hidup kerohanian dan kebendaan supaya mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
6. Ketupat, tantang angin, opak dan kelontong.
Ketupat     :     Janganlah suka “ngupat” memfitnah orang lain.
Tantang angin     :     Janganlah merasa sok tinggi hati namun tiada mempunyai hati (keberanian) bagaikan pohon bambu yang kosong batangnya, yang selalu bergerak dan bergoyang menurut hembusan angin.
Opak dan kelontong     :     Janganlah bersifat sok besar, sekiranya tiada berisi.

Kepercayaan

Sesudah menyaksikan dan mengetahui dengan cara kebatinan, bahwa:
+  Segala keadaan yang sifatnya ada dan tiada berasal dari Wujud Tuhan.
+  Segala keadaan itu bisa mubah musik, berkemauan dan sebagainya karena diunsuri oleh Penguasa-Nya Tuhan Yang Maha Esa.
+  Maha KuasaNya Tuhan Yang Maha Esa sifatnya Mutlak, meliputi segala keadaan dan zaman, kekal tiada berubah.
Kita percaya bahwa:

a.    Tuhan Yang Maha Esa itu, ADA: dan menjadi satu-satunya Tuhan segenap umat yang ada di jagad raya ini.
b.    Segala keadaan di jagad raya ini, berasal dari AdaNya Tuhan Yang Maha Esa.
c.    Kuasa Nya Tuhan Yang Maha Esa bersifat semesta meliputi segala kehidupan, dan penghidupan.
d.    Hidup di dunia sekedar melakukan darma dan karma sebagai Kaula Tuhan.
Percaya terhadap segala sesuatu di atas sesudah berwujud tekad, ucap dan lampah, maka terjadilah kepercayaan yang khas atas dasar kasunyatan dan kebenaran (Kebatinan). Berdasarkan uraian tersebut di atas maka kepercayaan mempunyai azas seperti berikut:
Bahwasannya:
1.    Tuhan Yang Maha Esa itu Wujud Ada-Nya.
2.    Ketuhanan Yang Maha Esa itu, perwujudan segala keadaan yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
3.    Patokan semesta, adalah Maha KuasaNya Tuhan Yang Maha Esa kekal dan tidak berubah, atas segala penghidupan dan kehidupan.
4.    Kebatinan adalah persaksian tentang:
a.    Adanya Tuhan Yang Maha Esa.
b.    Ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai perwujudan cara kumawula terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
c.    Patokan semesta yang kekal dan tidak berubah adalah Maha KuasaNya Tuhan Yang Maha Esa.
d.    Insan sebagai Kaula Tuhan yang wajib kumawula terhadap Tuhannya yang akan mempunyai/menjadi kenyataan setelah dilakukan dalam: Ucap, Tekad, dan Lampah.